Selasa, 27 September 2011

Merekam Gerak dan Ritual Senja (Penuh Cinta, Untuk Ayah dan Ibu Kita)

Di dusun, aku selalu senang menanti senja, saat lembayung melukis alam dengan warna berbeda. Langit jingga perlahan pudar berganti hitam. Aku selalu senang di puncak senja, saat dayu azan menggiring unggas berduyun ke kandang. Di garis batas antara petang dan malam.

Beriring burung-burung terbang menuju peraduan, berbondong-bondong warga melangkah ke masjid dusun, di tengah kampung depan rumah. Aku selalu senang senja, merekam kilas kehidupan petang.

Di masjid, aku selalu senang menanti salam, saat akhir solat di antara tarikan sajadah, sebelum purna jamaah bubar. Aku selalu senang memandang tubuh-tubuh ringkih yang menengadahkan tangan dan wajah, seakan sejengkal menatap mata pemilik semesta. Aku selalu senang menyimak gerak bisik bibir yang terangkai di perjalanan doa, aku selalu ingin mendengar rintih dari harap yang mereka panjatkan. Tapi aku selalu yakin, di antara bait-bait doa yang tersulam, tersisip bait bagi putra putrinya. Bait yang berisi sekati harap untuk keselamatan dan kebahagiaan kehidupan anandanya. Aku selalu senang menyimak ritual doa para orang tua, penuh khusuk dan tak alpa menyisipkan nama anak-anaknya.

Aku suka senja, karena di sana selalu ada para orang tua yang tak jedah mendoakan buah hatinya. Aku suka senja, sebab selalu akan ada doa orang tua bagi anak-anaknya. Dan sepanjang ada senja, terbuka jalan untuk kita, menyusupkan doa bagi mereka, Ayahanda dan Ibunda kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar