Sabtu, 15 Oktober 2011

Surat dari Ibu Pertiwi

Berjalan di deretan buku-buku usang yang berjejer di rak-rak ruang perpustakaan, sedikit merasa miris. Bias cahaya matahari dari sela-sela kusen jendela menarik partikel-partikel debu, dan silia-silia hidung bereaksi bersin atas debu-debu yang terhirup, bertambah miris. Kutarik satu buku tebal berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” karangan tokoh besar Indonesia. Warna sampulnya cokelat, tapi masih ada garis-garis hitam yang kurasa warna dasar sampul, makin miris. Kubuka kilas lembar demi lembar, coba merangkai poin-poin ide. Di akhir halaman, terselip sebuah amplop,

Jumat, 14 Oktober 2011

Jangan Nyaman, Kita Harus Berjalan

Harapan itu adalah keyakinan
Ia menyeruak dari jiwa yang terdalam
Meski ribuan iblis meragukan
Tapi ia kan semakin kuat tertananam

Selasa, 27 September 2011

Merekam Gerak dan Ritual Senja (Penuh Cinta, Untuk Ayah dan Ibu Kita)

Di dusun, aku selalu senang menanti senja, saat lembayung melukis alam dengan warna berbeda. Langit jingga perlahan pudar berganti hitam. Aku selalu senang di puncak senja, saat dayu azan menggiring unggas berduyun ke kandang. Di garis batas antara petang dan malam.

Beriring burung-burung terbang menuju peraduan, berbondong-bondong warga melangkah ke masjid dusun, di tengah kampung depan rumah. Aku selalu senang senja, merekam kilas kehidupan petang.

Tentang Hati Untukku

Malam menyusup hati...
Sontak menghirup sepi...
Lantas berlari mencari pengusir sunyi.

Di lelah tapak aku berjumpa bintang-bintang
Kerlipnya mambasuh jiwa yang kering

Minggu, 18 September 2011

Melambat.,Bukan Terlambat..

"Bergegaslah, sebab yang lain kencang melaju"
Serunya dari depan, dan menjarakku beberapa depa..
"Kau masih juga melamun,.!!!"

Melamun ? aku rasa tak melamun,.hanya sekedar merenung..
Pernah sekali waktu lari kencang melaju..tapi tak ada kenikmatan untuk tiap tapak..

Rabu, 03 Agustus 2011

Para Pilihan Zaman

Musim kemarau panjang ini berlalu sudah. Apa yang tersisa dari terik yang amat sangat selama dua belas purnama itu ?. Hanya debu dan rumput kering, mungkin juga beberapa pohon yang kuat menghadapi terjangan musim. Gumpalan awan menandai masa musim hujan, rintik perlahan turun menyirami lahan-lahan kering. Guntur berdahak tak henti beriring kerlip gemerlap kilat, alam gulita menyarungi, sebelum nafas cerah kehidupan datang menayapa.

Patut bangga segala yang kokoh melewati musim kering kemarau, sebab mereka adalah pilihan dari kerasnya keadaan. Akan muncul benih-benih baru dari siraman air musim basah hujan, siapa yang mampu meramalkan, kelak mereka akan merekah sejauh apa?, menjulang setinggi apa ?.

Kamis, 21 Juli 2011

Refleksi Ramadhan Kita

Oleh : Kaki Langit (6 Juli 2011)

Tak lama lagi kita akan kembali bersua dengan ramadhan yang penuh rahmat dan berkah...., begitu ceritanya. Dan saya kira memang seperti itu harusnya. Namun entah kenapa ramadhan terasa terkesan biasa-biasa saja dikampung kita tercinta ini..., bulan yang seharusnya kita sambut dengan penuh pemaknaan seolah hanya tinggal serangkaian rutinitas dan prosesi tahunan yang terus saja berulang dan berlalu. Dan yang nampak secara kasat mata adalah penyambutan bulan berkah ini dikalangan mayarakat kita lebih disikapi sebagai serangkaian ritual dan ritual belaka, yang karena kebiasaan/budayalah itulah semua terkesan berlalu begitu saja. Tanpa kita bisa mengecap makna sedikitpun. Ramadhan telah kehilangan ruhnya ditengah-tengah kita semua. Apakah arti ini semua...?.

Takdir di Ujung Nyali

Sinar jingga barat menghadirkan lukisan berbayang di sisi timur dusun. Bayangan manusia perlahan memunculkan sosoknya dari arah tanjakkan jalan bertanah yang belum jua mencium bau aspal sejak kemerdekaan silam. Matahari tak lagi menampakkan rupanya, sebab terselubung awan tebal, meski sinarnya masih memberi bayang bagi seluruh alam.

Seiring peraduan matahari, sosok lelaki tegap semakin mendekati perbatasan dusun yang dengan stelan kemeja biru berdasi dengan celana hitam serta sepatu mengkilat, menghadirkan suasana kontaras bagi dusun sunyi yang rumah satu dengan lainnya masih berjarak. Tangannya menggenggam koper hitam dan tangan satunya melambai mengikuti gerak langkahnya.

Selasa, 05 Juli 2011

Masih Bermimpi...

Bias jingga dari arah sisi barat
Di wajah temaram garis langit
Bola api matahari bergerak turun perlahan
Menarik serta tirai malam

Senin, 04 Juli 2011

KALAU AMERIKA SERIKAT BISA !!! KENAPA INDONESIA TIDAK ???

“Kalau yang lain bisa, kenapa kita tidak ?”

Sebuah jargon penyemangat yang biasa di dengar untuk membangkitkan semangat berusaha. Jargon ini memang cukup masuk akal, karena di dalamnya mengandung nilai semua manusia secara potensi sama dalam peluang, tinggal usaha dan pengabdian dari potensi terbaik, disetai disiplin dan perjuangan yang akhirnya dapat memunculkfan prestasi.

Sekedar asumsi, bahwa Adam Smith ketika tahun 1776 menuliskan bukunya “The Wealth of Nation” dan di dalamnya menyinggung masalah usaha tiap individu untuk memperbaiki nasibnya akan serta merta mmperbaiki nasib kolektif masyarakat di mana ia berusaha melandaskan pada jargon “kalau yang lain bisa, kenapa saya tidak ?”

Indonesia Mencari Bakat ; Bangsa Kehilangan Pemuda

Berjibaku stasiun TV dengan program tayangan entertain yang beragam. Mulai dari yang mencari idola, mencari pacar, sampai mencari orang berbakat. Banyak orang Indonesia saat ini rupanya kehilangan, sehingga banyak saluran TV menabur jasa pencarian. Lumayan banyak dapat untung.

Indonesia banyak kehilangan saat ini, kehilangan hutan, kehilangan tambang, kehilangan pemerintah, kehilangan masyarakat, kehilangan etika, solidaritas, kebhinekaan, moral hukum, dan banyak deretan daftar kehilangan lainnya, burung garuda dan teks pembukaan UUD pun kehilangan. Dan tanah pijakan yang tersisa, terancam kehilangan juga.

Lantas, apa yang tersisa dari Indonesia ini ?

Sabtu, 25 Juni 2011

Ada

Ada kegundahan yang tertinggal
Ada rasa yang mengganjal
Ada harapan yang hilang
Ada keinginan yang terbang

Anak Zaman Prematur

Aku terlahir dari rahim zaman dengan bangunan gedung-gedung tinggi,tapi manusia di sekitarku terbangun dengan kepribadian kerdil,setiap hari aku melintasi jalan-jalan lebar,tapi tiap hari pula bertemu orang-orang berhati sempit.Banyak alat komunikasi,tapi jarak kita makin jauh.Banyak waktu yang kita punya,tapi sedikit yang kita dapat.

Dari kecil aku diajarkan tentang kebenaran,tapi tiap hari aku melihat kebohongan.Di sekolah aku mendapat ilmu memproduksi,tapi di media masa menjejaliku dengan budaya mengonsumsi.Dai-dai berteriak tentang kedermawanan,tapi tiap hari kulihat manusia-manusia pelit.Agama mengajarkan keadilan,tapi manusia-manusia mengambil lebih banyak untuk dirinya.Berbagi adalah hal terindah,tapi banyak manusia-manusia serakah.

BARISAN TOPENG SENYUM

Berbaris bagai prajurit,tapi mungkin bisa sedikit diajari tentang tertib,sebab tak patuh rupanya mereka pada aturan baris berbaris.Di aspal pada siang,bayang mereka hitam terpantul dalam bentuk bingkai persegi,besar kecil "menghias" hiruk jalanan kota,,senyum 24 jam mereka terbias,,meski kadang hanya gelap malam yang melihat senyum tak jelas itu,,beramah,menghamba atau sekedar mengelabui...

Kata-kata....yang satu ini adalah penyampai makna terhebat,,atau alat penipu luar biasa,,,dan sekarang terketik pada lembaran bingkai mereka,,entah sebagai apa????,,

Rekaman Rembulan

Manusia-manusia di bawah temaram lampu jalanan
Redup wajah mereka di sorot sinar rembulan
Mereka berdiri di gelinding nasib

Ada wajah dalam balutan bedak
Ada wajah dalam balutan daki
Ada yang minta diberi mani
Ada yang minta di kasihani

AKU

dua bola tertempel pada kantung kelopak
lima guratan menggaris di atasnya
dua lagi daun menghias di sampingnya
delapan mata angin perputaran arahnya
sembilan terakhir kotak pandoranya....
AKU

(terimakasih persinggahan rahimnya,,hingga raga tak cacat)

Bulan yang Menggantung di Malam

Kanvas langit memberi cerita,menggulir masa di dua kata.Untuk matahari dan untuk bulan.Sisip suka di seberang duka,Lalu membuat kisah disertai layar bergambar,diletakkan di kepala belakang lalu diputar..

Ada bintang yg beribu di cakrawala malam,ada awan yg menggulung di horison siang,selalu ada hujan kisah yang membasahi tanah,menambah episode layar bergambar..

LELAKI KEMARIN

Tak perlu awal kisah untuk mengenalkan dia,pun tak butuh masa lalu untuk mengetahui dia.Tak guna bila dimulai dari awal,sebab ia berpesan hanya bercerita tentang kenyataan masa ini dan harapan indah atau kenyataan pahit masa depan.
“Taak apalah,ceritakan padaku.”Pintanya
Aku diam,
“Ceritalah..Tentang awan yang kamu pandangi dari kemarin itu dan saat ini menjelma hujan….”.
Aku diam,menutup mata

Aku Mengingat Wajahmu,Tapi Tak Mampu Menyebut Namamu

Jika ada segores lengkung pada pipi,
Ada kerutan di atas dahi
Ada mata yang mengawang
Aku hanya sedang keliling ke perpustakaan
Atau mengotak atik folder di komputer

Rintihan Berulang

Gorong-gorong hati menggemakan suaranya
Nyaring melengking merayapi udara
Dihiasi tangis yang pilu

Ada yang terpasung dalam jiwa
Menjerit pinta pembebasan
Dari pasungan balok-balok dosa

Di Sudut Indonesia Pertiwi Memanggil Pemuda ( I )

"Pemuda usia 20 tahun, dan ia belum berjuang untuk bangsanya, maka pantaslah untuk di gunduli"
(Soekarno)

Lembar-lembar sejarah punya ceritanya.Dalam rangkaian kata,fakta coba di gambarkan hingga mampu menjadi pelintas bagi generasi selanjutnya,yang akan kembali menjadi sejarah. Setiap bangsa dari zaman batu hingga zaman moderen mempunyai ukiran cerita yang menjadikannya abadi, untuk dinikmati, dipelajari,atau sekedar di pelototi. Sejarah sebagai bentuk sastra karena unsur ceritanya, tidak lepas dari penilaian-penilaian yang ditafsirkan sesuai dengan pengalaman pembacanya, bahkan bisa juga sebagai alat penjaga kekuasaan. Selain itu pula, hamparan hikmah dapat disemai dari luasnya ladang ladang sejarah.

Resah Bidak Pion

Bercerita ia,kala rampung senja tertutup malam,,tentang rasa lelah hari yang dilalui, tentang langkah yang harus menghantarkannya pada ujung senja. Tak tahu secara nyata gambaran hari itu,.hanya berbaris pada lajur depan, kisahnya,.hanya samar melihat ke belakang dan tak jelas nyata siapa yang menggerakkan semua, herannya. Tak bisa lagi undur pun jika keluar, sayangnya,.sebab bentang hari telah dibuka,strategi rampung disusun, sisa langkah yang mesti dijaga.,Satu tujuan, raja di seberang harus menemui kematian,instruksi dengung suara,.tapi rasaku mengungkap taruhan sang pemainlah tujuannya.

NYANYIAN UJUNG DERMAGA ANANDA

Dari ujung dermaga
Tak jua mata menatap ujung lautan
Hanya paduan langit dan lauta yang menetap menggaris
Atau onggakan karang dan pegunungan kokoh
Keindahan pada nampak mata memukau terpukau

Dewi Aphrodite Menebar Panah

Hujan menjadi musim pasti
Tak menentu berapa penggal bulan terlalui
Hujan turun pada kepastian hari
Saat senja yang sering menelan mentari

Hujan ini bagai tangis bumi
Pada manusia yang telah pikun berbagi
Yang telah lumpuh memberi
Menyisihkan sisi kasih

HAH...!!!

Musnah saja engkau para pecundang
Yang takut pada gemuruh dan deru hujan
Pada keras dan terjal kehidupan
Hilang saat lelah menghampiri petang

Selasa, 07 Juni 2011

Untuk Mengenang Mereka,


“Kita memimilih mengenang orang yang telah pergi seperti apa...”
            Ungkapan manis yang inspiratif, menggerakkan segala tanya dan upaya pada satu daya peraihan mimpi-mimpi. Suatu saat, kita akan dikenang seperti apa ?
            Termenung, merenung, tapi tak berkabung.
Banyak sudah mereka berpulang, waktu tak pernah perduli, jejak apa yang pernah mereka tinggalkan, yang pasti, semua akan tercatat dalam memori kenangan, dan kita yang di sini memilih mengenang dengan cara kita sendiri.
            Maka nyanyian apa yang paling indah, selain kenangan tentang mereka yang merubah jalan kehidupan. Dendang apa yang paling merdu, selain cerita tentang benih kebaikan yang tertanam selama nafas kehidupan. Kita cuman bisa berharap, pada bibir-bibir sejarah, salah satu nama adalah kita yang coba merubah kehidupan, tidak diam menikmatinya. Meski hanya ibarat burung mungil dengan paruh kecil membawa setetes air asin, pada kisah pembakaran nabi Ibrahim.
            Masa tak pernah mengenal ampun, ia kan tetap merenggut usia, meski kita mungkin menyimpan berkati-kati mimpi. Kita akan dikenang seperti apa ?
( Membaca buku “Soe Hok-Gie, ...sekali lagi”. Memadunya dengan Ungkapan Ka Dita pada suatu kali )
Makassar, Asrama Medica FK UH
02.00 dini hari ; 07 Juni 2011

Selasa, 24 Mei 2011

SANG PEMENANG

Jika gelombang mampu mengokohkan tapak karang
Maka jadikanlah akau karang dan hidup adalah gelombang
Meski mungkin sekali duakali terhempas

Jika terik dan hujan mampu menjadihkan pohon ek menjulang
Maka jadikanlah aku pohon ek dan hidup adalah terik dan hujan
Meski mungkin sekali dua kali daun terlepas

JIka buas harimau menjadikan kijang berlari kencang
Maka jadikanlah hidup sebuas harimau dan aku sekencang kijang
Meski mungkin sekali dua kali kulit tergores

Namun jika…
            Gelombang melebur karang
Terik-hujan sebabkan pohon ek tumbang
Buas harimau membunuh kijang
Maka biarkanlah aku menjadi pemenang dengan hidup yang cadas

*Inspirasi dari membaca Mushashi (hal.
Makassar ; Asrama Medica, 13/05/2011., 2:52 Wita
Tak Hingga

Dari arah pintu mana engkau akan hadir,
hingga polos langit berubah lukis pelangi,
 mencipta lahan taman dari ruang tandus,
 menyihir terik panas menjadi hembus sejuk.

Dimana engkau bersemayam,
wahai rasa yang membalut semesta dalam wajah satu,
melebur syurga dan neraka membuang tabu,
hingga tak ada jedah bagi pilu.

Makassar ; Asrama Medica, 13/05/2011.,02:30 wita
MELODI KOCAK

Mulutku kelu aku sendu
Tanganku kaku hamba pilu
Tak ada cinta hambar kata

Bait-bait kata teracak kacau
Kaca-kaca syair diam membisu
Decak-decak kosong melonglong

Tumpah nada-nada buntu
Dering senar-senar hambar
Nyanyi lagu-lagu hampa

Keropos jiwa kerontang
Meronta meretak ruang kosong
Memecah gentong kantong oblong

Makassar ; Asrama Medica, 13/05/201

Sabtu, 14 Mei 2011

Gen Yang Mencerahkan

Muncul dari perpaduan cahaya matahari dan sinar rembulan, menapak hidup dengan kepastian, meninggalkan jejak perjuangan...di hari ini dan hari depan.