Sabtu, 15 Oktober 2011

Surat dari Ibu Pertiwi

Berjalan di deretan buku-buku usang yang berjejer di rak-rak ruang perpustakaan, sedikit merasa miris. Bias cahaya matahari dari sela-sela kusen jendela menarik partikel-partikel debu, dan silia-silia hidung bereaksi bersin atas debu-debu yang terhirup, bertambah miris. Kutarik satu buku tebal berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” karangan tokoh besar Indonesia. Warna sampulnya cokelat, tapi masih ada garis-garis hitam yang kurasa warna dasar sampul, makin miris. Kubuka kilas lembar demi lembar, coba merangkai poin-poin ide. Di akhir halaman, terselip sebuah amplop,

Kepada Anak ku

Simak ku bolak-balik amplop itu. Ku tengok isi dalamnya, siapa gerangan menyelipkan amplop ini ?.

Salam Cinta

ttd

Ibu Petiwi


Skip ku baca penulis surat dua halaman itu. Kembali ku baca awalnya.

Kepada Anak ku

Salam keselamatan untukmu, di setiap langkah dan nafas hidupmu. Semoga tuhan yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat cintanya.

Sengaja ibu mengirimkan surat ini di antara rintihan hati yang teriris. Semoga rasa bersalah ini sedikit dapat terkikis dengan ibu coba mengingatkan tentang masa kecilmu. Mungkin di suratku ini nanti, ku ingin bercerita balik kilas perjalanan tumbuhmu. Semoga ini tak membosankanmu, pintaku sebagai ibu tetaplah baca hingga tuntas ceritaku, seperi dulu jua engkau yang tak sabar memintaku menuntaskan ceritaku.
Penuh cinta anakku.

Masihkah kau ingat kala kecilmu dulu yang begitu ingin tahu segala ?. Di tiap malam sebelum lelap, engkau selalu menyela ceritaku dengan tanya. Cerita tentang tanah yang di anugerahkan Tuhan pada kita. Tanah yang membuat manusia-manusia loba dari negeri putih datang menjarah, dengan alasan ingin besahabat namun akhirnya menjajah, setelah wangi cengkeh memabukkan mereka. Tanah kita begitu indah, kaya.

Kau juga mungkin masih ingat, saat akhir pekan aku pertama kali mengajakmu mengujungi hutan di belakang rumah, yang tiap awal hari engkau mendengar aneka decak kicau burung-burung. Disana matamu binar oleh aneka satwa yang bercekrama di sela-sela pohon yang menjulang rindang, atau satwa yang bermain di antara aneka tetumbuhan tropis . Satu-satu engkau di ajak berkenalan, hingga senja hari tak habis juga setengah nama tanaman ku kenalkan. Gelap telah merambati hari, balik kita ke rumah dan engkau berkata lirih, “kita kembali lagi esok bu, yah...”.

Sepanjang pekan di tahun-tahun tumbuhmu, tak alpa kita berkunjung ke hutan. Hingga saat engkau tumbuh dewasa dan banyak memiliki saudara, tak lagi hutan dan satwanya menarik hatimu. Orang-orang putih itu datang dengan senyum, memberikanmu mesin-mesin yang derunya mengusir satwa-satwa yang dulu engkau cintai dengan sangat. Yang derunya menyingkirkan tanaman-tanaman yang dulunya engkau bangga atasnya. Mereka menggiurkanmu dengan kemoderenan yang saat itu masih hangat menjadi pembicaraan di seluruh pelosok negeri. Seolah ia adalah jelmaan makhluk syurga yang mengalahkan seluruh makhluk yang ada di tanahmu. Engkau izinkan makhluk moderen itu masuk, engkau relakan satwa dan tanaman negerimu tersingkirkan. Di lenakan hatimu oleh mimpi-mimpi syurga, dan engkau tak sadar bahwa tanahmu berpijak adalah syurga itu.

Anakku tercinta, masihka engkau di sana. Saya berharap engkau tak jenuh dengan kesah atas resahku ini.

Tahun 67 engkau meminta izin untuk saudaramu Widjojo Nitisastro hendak ke Geneva, mau jumpa teman-teman dari seberang negeri untuk konfrensi istimewa ujarmu. Entah apa yang engkau titahkan untuk adikmu di sana, sepulang dari sana ku dapati surat-suratmu dengan The Time-Life Corporation. Kelompok itu yang mengundangmu ke Geneva rupanya. Di sana tertulis ungkapan terimakasih dari David Rockeffeler atas bagian dari tanahmu, dan pujian untuk adik-adikmu yang engkau utus yang ia sebut ekonom-ekonom top.

Ada juga ucapan terimakasih orang-orang perusahaan minyak dan bank atas bagian mereka. Beberapa sempat tertinggal di ingatanku, General Motors, Imperial Chemical Industies, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel.

Jeffrey Winters, entah siapa dia. Ia menceritakan kepadamu bagaimana tanahmu di bagi-bagikan dalam lima kamar. Pertambangan, jasa, industri ringan, perbankan, dan keuangan. Lalu ia melanjutkan bahwa bukit tembaga yang ada di tanahmu Papua Barat telah dimiliki oleh Freeport, konsorsium Eropa mendapatkan bukit nikelnnya, Alcoa mendapatkan bauksitnya. Sementara itu, hutan tropis yang dulu engkau punyai yang ada di Kalimantan, Sumatera, dan Papua telah di bagikan kepada Amerika, Jepang, dan Prancis.

Anak ku yang selalu ku sayangi, saya harap engkau tak merasa tersudutkan dengan surat ini. Saya hanya menyampaikan isi hati ini saja. Toh tanah ini juga adalah milikmu sepenuhnya, yang saya harap engkau juga tinggalkan bagi adik-adikmu di kemudian nanti.

Ada juga surat yang ku temukan terselip di bawah bantalmu. Itu datang dari John Perkins, kalau tidak salah dulu engkau perkenalkan orang yang akan membuat pembangkit listrik bersama sepuluh orang temannya. Surat itu berisi pengakuan bahwa ia sengaja memanipulasi data untuk kepentingannya, utamanya pembenaran atas utang yang harus diambil olehmu kepada IMF yang kemudian uang itu diberikan lagi ke MAIN, yang ternyata itu adalah perusahaannya jua, dan kepada perusahaan-perusahaan Amerika lainnya. Tujuannya hanya untuk membangkrutkan tanahmu dengan utang yang tidak akan pernah lunas, sehingga engkau dan saudara-saudaramu selalu tergantung pada mereka.

Tidak ada maksud apa-apa dari saya untuk membeberkan ini, hanya saja beban hati ini telah begitu menyesakkanku. Akhirnya saya mesti jujur juga atas kesedihan hati ini atas keputusan-keputusan yang engkau ambil, apatahlagi engkau hanya manfaatkan ini semua hanya untuk kepentinganmu dan kepentingan adik-adik yang mau nurut padamu. Tanahmu yang rimah ripah lokh jinawi hanya kini kelihatannya saja, tak pernah dinikmati oleh adik-adikmu belakangan hari. Sari pati kekayaan tanahmu telah bermuara ke negara-negara lain dengan kerelaanmu. Tangisan kelaparan masih terdengar di tiap-tiap sisi tanahmu, hutan-hutan banyak yang hilang, satwa telah minggat dari tanahmu. Berganti mesin-mesin pengisap negara yang dulu dijak menjadi teman mereka.

Maafkan jika saya dalam surat ini menyakitkan hatimu, saya hanya berharap engkau kembalikan lagi tanahmu dan engkau gunakan untuk adik dan anak-anakmu. Mungkin itu saja cerita hati dariku yang resah, semoga risau ini dapat membangkitkan rasamu untuk mengambil kembali hakmu.

Salam Cinta

ttd

Ibu Pertiwi


Kulipat surat itu dan kembali ku masukkan dalam amplopnya semula lantas ku sisipkan kembali dalam buku. Tak jadi bukunya ku pinjam. Bergegas hari telah gelap, dan aku beranjak keluar untuk menanti surat Ibu Pertiwi yang tak henti susah hatinya atas kenangan mas intannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar