Senin, 04 Juli 2011

KALAU AMERIKA SERIKAT BISA !!! KENAPA INDONESIA TIDAK ???

“Kalau yang lain bisa, kenapa kita tidak ?”

Sebuah jargon penyemangat yang biasa di dengar untuk membangkitkan semangat berusaha. Jargon ini memang cukup masuk akal, karena di dalamnya mengandung nilai semua manusia secara potensi sama dalam peluang, tinggal usaha dan pengabdian dari potensi terbaik, disetai disiplin dan perjuangan yang akhirnya dapat memunculkfan prestasi.

Sekedar asumsi, bahwa Adam Smith ketika tahun 1776 menuliskan bukunya “The Wealth of Nation” dan di dalamnya menyinggung masalah usaha tiap individu untuk memperbaiki nasibnya akan serta merta mmperbaiki nasib kolektif masyarakat di mana ia berusaha melandaskan pada jargon “kalau yang lain bisa, kenapa saya tidak ?”

Adam Smith yang kemudian sampai hari ini dikenal sebagai bapak kapitalisme dengan teori-teorinya yang diperbaharui oleh tokoh-tokoh lain semisal, Jeremy Bentham, John Stuat Mill, Milton Friedman, dan Margareth Tatcher memang sangat populer, tidak terkecuali di Indonesia. Amerika Serikatlah yang selalu mengklaim diri menjadi pengikut murni kapitalisme menjadi kiblat bagi perekonomian dunia saat ini selain China, India, Korsel, dan Negara-negara maju lainnya.

Lantas bagaimana dengan Indonesia ? Mengapa selama beberapa dekade ini, nusantara yang bentang alamnya sangat potensial tidak juga menunjukkan suatu pertumbuhan yang signifikan dan memuaskan. Kenapa AS bisa, Indonesia tidak ?.

AS adalah suatu Negara yang secara mentalitas, budaya, dan diperkuat oleh hukum merupakan Negara liberal dengan jargon demokratis. AS adalah Negara yang sangat menjunjung individualisme tanpa mengenal kolektifitas, seperti yang diungkapkan oleh Werner Sombart, 1904 :

"AS telah menjadikan rata-rata buruh menjadi seorang pelaku bisnis yang penuh perhitungan tapi tanpa idealisme…perbaikan nasib lebih menjadi persoalan peningkatan diri individual daripada aksi kolektif."

Sombart juga mengatakan bahwa AS adalah Negara borjuasi sejak lahir. Sehingga rasa kecintaan terhadap kepemilikan sangatlah besar. AS telah menghadiahkan – sejak kelahirannya – kepada rakyatnya hak-hak mendasar bagi kaum buruh dan kaum miskin, sehingga orang miskin tidak perlu mengais-ngais makanannya, bersusah payah membangun rumah, mencari pakaiannya seperti kebanyakan di negara lain. AS adalah Negara yang secara hukum dan budaya menghormati hak-hak kepemilikan individu, cara memperolehnya juga cara mempertahankannya.

Itu di AS, lantas bagaimana dengan Indonesia ? Indonesia adalah Negara yang mengklaim diri demokratis seperti AS dan Negara Eropa lainnya dengan sistem ekonomi kapitalis ( meski tidak terang diklaim ). Namun dalam wujud lapangannya, jauh dari harapan ideal. Banyak variabel yang menjadi pembias realisasi kedua sistem tadi. Salah satu dan yang terpenting adalah budaya dan tradisi masyarakat Indonesia.

Selain banyaknya hukum tertulis , banyak juga hukum-hukum tidak tertulis yang menjadi landasan norma dan etika perikehidupan yang membudaya di masyarakat Indonesia. Ada budaya-budaya kolektif di Negara Indonesia yan secara mendasar membuat berbeda dari AS atau Negara manapun di Eropa yang cenderung individualis.

Seperti yang di ungkapkan oleh Moh. Hatta tentang tiga ciri yang dilahirkan dari budaya kolektif masyarakat Indonesia, yakni rapat / musyawarah, mufakat, dan tolong-menolong. Lebih lanjut diungkapkan oleh pendiri bangsa ini bahwa dua ciri pertama itu menyangkut pengambilan keputusan mengenai kepentingan bersama, sedang yang ketiga berhubungan dengan cara mengatasi masalah bersama. Sehingga dalam setiap sendi peri kehidupanya, masyarakat Indonesia tidak akan terlepas dari nilai-nilai budaya kolektif tersebut. Setiap proses-proses politik, ekonomi, dan sosial akan mencerminkan spirit musyawarah, mufakat, dan tolong-menolong.

Moh. Hatta juga menyebutkan dua budaya lagi yang mengikuti ketiga budaya tadi. Pertama, tradisi protes bersama oleh masyarakat pada peraturan penguasa yang memberatkan atau pada penguasa yang tidak peduli pada masyarakatnya, seperti tradisi pepe pada masyarakat tradisioal di kerajaan-kerajaan Jawa. Kedua, tradisi menyingkir dari daerah kekuasaan penguasa lalim, seperti pada smasyarakat tradisional Minangkabau dan Bugis.

Belum lagi kita berbicara tentang sikap kental masyarakat nusantara pada agama. Seperti ungkapan budayawan Radhar Pancha Dahana, dalam koran KOMPAS, ed. 28/02/11 :

"…Dalam berusaha misalnya, bangsa Indonesia dengan semangat religiusnya menjadikan nilai usaha itu sebagai wujud pengabdian dan ibadah kepada sang pencipta, bukan hanya sekedar pemuasan kebutuhan saja."

Dalam perekonomian, nilai interaksi kebersamaan menjadi spirit bangsa Indonesia dalam setiap transaksi jual beli – tergambar pada pasar-pasar tradisional di pelosok-pelosok Indonesia – bukan sekedar proses-proses mekanistik seperti banyak kita temukan pada keseharian hidup masyarakat moderen.

Budaya-budaya seperti disebutkan yang menjadikan nusatara menjadi Negara dengan nilai idealisme. Tidak semata manusia-manusia yang penuh perhitungan tanpa nilai idealisme seperti yang diungkapkan Sombart di awal tulisan.

Sekarang kembali kita bertanya, kalau AS dan Negara-negara maju lainnya bisa !, kenapa Indonesia tidak ? Lalu apakah Indonesia harus melewati rel, menaiki kereta, bahkan dengan masinis yang sama seperti Negara maju lainnya agara sampai pada stasiun kesuksesan dan kejayaan ? Atau dengan rel, kereta, dan masinis dari kita sendiri tapi kita harus frustasi karena tak jua terminal sukses nampak di ujung rel ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar