Kamis, 21 Juli 2011

Takdir di Ujung Nyali

Sinar jingga barat menghadirkan lukisan berbayang di sisi timur dusun. Bayangan manusia perlahan memunculkan sosoknya dari arah tanjakkan jalan bertanah yang belum jua mencium bau aspal sejak kemerdekaan silam. Matahari tak lagi menampakkan rupanya, sebab terselubung awan tebal, meski sinarnya masih memberi bayang bagi seluruh alam.

Seiring peraduan matahari, sosok lelaki tegap semakin mendekati perbatasan dusun yang dengan stelan kemeja biru berdasi dengan celana hitam serta sepatu mengkilat, menghadirkan suasana kontaras bagi dusun sunyi yang rumah satu dengan lainnya masih berjarak. Tangannya menggenggam koper hitam dan tangan satunya melambai mengikuti gerak langkahnya.

Ia terus berjalan menyusuri dusun, hingga berbelok ke warung yang sekilas di lihat hanyalah bagian dari pondok. Ia duduk pada bangku yang tersedia dan memesan segelas teh hangat dan gorengan. Meski bertanya-tanya siapa sosok parlete yang menyambangi warungnya, di dusun kecil miskin, di hadirkannya jua pesanan pemuda itu tanpa berani mengajukan seucap tanya.

“Mace, kelihatnnya sebentar ini akan turun hujan ya ?” Tanya pemuda itu setelah menyurumput seteguk teh hangat pesanannya.

“Iya nak”

<><><><><>

“Jadi nak ini mau ke dusun sebelah ?”

Bapak pemilik pondok membuka perbincangan setelah mempersilahkan duduk pemuda yang tiba-tiba menyambangi pondok mereka.

“Iya pak, ada urusan yang harus di selesaikan di kampung sebelah. Tapi karena hari sudah gelap dan nampaknya akan turun hujan, jadi saya putuskan untuk nginap saja dulu, besok pagi barulah saya lanjutkan perjalanan lagi.”

Bpak pemilik pondok mengangguk-angguk memahami. Sedetik kemudian anak gadis pemilik pondok itu menyuguhkan air putih dari dapur yang sebenarnya masih satu ruangan dengan ruang tempat mereka ngobrol. Pondok itu berukuran 25x15 meter persegi dengan dua kamar tidur dan tiga orang penghuni. Atap terbuat dari rumbia, dinding pondok dari bambu yang dianyam, serta lantai hanya petakan tanah.
Pekarangannya hanya di tanami kelapa dan pisang, serta semak-semak yang menghampar. Antara satu pondok dengan pondok tentangga berjarak limapuluh-an meter. Sehingga jikaluau hari telah gelap tak ada suara yang keluar sari dusun itu kecuali suara jangkrik dan binatang-binatang malam yang menyanyi mengisi sunyi dusun itu.

Kaget juga keluarga itu ketika seorang pemuda berpakaian kemeja dan dasi datang mengutarakan keinginannya untuk menginap semalam di rumah mereka. Baru sekali ini ada orang yang ingin nginap di rumah mereka, bahkan untuk ukuran dusun merekalah yang pertama kali.

“Silahkan diminum airnya, maaf hanya itu kadar yang kami bisa suguhkan.” Ajak istri pemilik pondok itu yang sejak tadi hanya ikut mendengar perbincangan suaminya dan pemuda itu.

“Ah...tidak apa-apa kok bu. Di terima nginap saja saya sudah sangat syukur dan berterimkasih. Tidak usahlah kehadiran saya merepotkan bapak, ibu, dan adek.”

“Tapi, mohon maaf nanti tempat ananda untuk tidur dari dipan dengan alas tikar. Ananda tidak ada masalah dengan itu ?”

“Oh...tidak bu, tidak apa-apa kok. Tidak ada masalah sama sekali. Saya juga dulu dari kampung kok.”

Seloroh pemuda parlente itu di sambut gelak tawa keluarga kecil pondok, juga tawa pemuda itu.

“Jadi ananda ini urusan apa yang mesti diselesaikan di kampung sebelah ?” Tanya bapak pemilik pondok kemudian. Sejurus pemuda itu diam.

“Ndak usah di jawab kalau memang pertanyaan saya keliru. Maaf udah tanyakan hal itu”

“Tidak kok, tidak ada yang salah dari pertanyaan itu. Saya mau membawakan uang untuk harga tanah pembangunan bendungan di kampung sebelah. Saya cuman perantara saja.” Jawab pemuda itu merasa tidak enak juga tadi ia tidak jawab.

Bapakku pemilik pondok tersenyum. Rasa tidak enak dari pertanyaannya tadi belum terhapus meski pemuda itu meyakinkannya. Namun, penjelasan pemuda itu menyiagakan sikap istri dan anak bapak itu. Mereka saling lirik dan sama memperhatikan koper yang sejak tadi berada di sisi pemuda itu.

Malam mendekati larut, perbincangan keluarga itu dan pemuda tamu mereka begitu asyik. Gemuruh guntur yang menyahut kilat di tengah deru derai hujan tak tersa mengganggu. Istri pemilik pondok mempersilahkan pemuda untuk istirahat setelah lampu petromaks penerang rumah hampir redup, sebab esok pagi pemuda itu mesti melanjutkan perjalannya.

<><><><><><>

Hujan makin jatuh dengan deras, guntur dan kilat makin sering bersahutan. Seakan langit dalam keadaan perang besar. Dari dalam pondokan tempat pemuda itu terdengar perbincangan dengan berbisik.

“Kapan lagi pak kita dapat kesempatannya ?, musim ini kita tak bisa memanen, semua tanaman habis di makan hama. Makanan simpanan kita hampir habis, jadi pekan depan kita makan apa pa ?. Ini kesempatan kita pa, bunuh pemuda itu lantas ambil uangnya.”

Gejolak berkecamuk di hati bapak pemilik pondok itu. Gemuruh guntur menambah gejolak hatinya. Ia pada persimpangan dilema.

“Iya pak. Kalau kita berhasil dapatkan uangnya, kita tidak akan digunjingkan tetangga karen utang-utang kita tidak mampu kita lunasi. Saya juga bisa membeli baju baru juga peralatan kecantikan, supaya pemuda-pemuda desa tahu kalau saya juga cantik.” Ujar putrinya menguatkan bujukan ibunya.

Agak lama berpikir, dan istri dan anaknya semakin menderukan generang bujukan, akhirnya runtuh juga benteng pertahanannya. Di raihnya golok di bawah tempat tidurnya dan bergegas menuju tempat tidur pemuda itu istirahat. Istri dan anaknya menanti di belakang bapaknya. Diintipnya sedikit pemuda itu dari balik pintu tanpa daun itu, hanya tirai yang menjadi penghalang. Kilat membantu jarak pengliahtan pemilik pondok itu untuk melihat posisi tepatnya pemuda itu. Golok di tangannya di genggamnya denga kuat, gemuruh guntur sedikit mengagetkannya. Ia hendak merengsek masuk tapi kakinya berat. Di urungkannya niatnya dan di serahkan goloknya pada putrinya.

“Tunggu sebentar, saya pergi minum arak ke warungnya mace dulu.”

Nyalinya yang ciut ingin ia bangkitkan dengan minum arak. Ia berjalan keluar menembus derai hujan dan deru guntur menuju arah barat.
Hujan masih tetap berderai, kilat dan guntur masih setia menemani malam itu. Istri dan anak pemilik pondok itu makin gelisah setelah agak lama ayah mereka tak kunjung datang. Anak pemilik pondok itu memutuskan untuk mengambil alih peran ayahnya yang ia anggap tak punya cukup nyali untuk melaksanakan hal demikian. Di intipnya sedikit untuk melihat keadaan pemuda itu. Ibunya berada di belakang. Setelah yakin bahwa pemuda itu masih lelap dengan mimpinya, ia merengsek masuk dan langsung menancapkan goloknya tepat di leher pemuda itu. Tanpa suara, hanya sedikit erangan pemuda itu tak lagi bernyawa. Belum yakin gadis itu tetap menghujamkan golok di keseluruhan tubuh pemuda itu. Sehingga jipratan darah memenuhi pakaian depan anak itu.

“Sudahlah nak, ia sudah mati”

Cegat ibunya sembari mencari koper pemuda itu yang tergeletak di samping pemuda itu. Diraihnya kemudian dibukannya koper pemuda yang tergeletak bergelinang darah. Di bukanya koper itu dan benar isinya penuh dengan talian uang seratus rupiah. Terbelalak mata yang tak pernah melihat uang sebanyak itu, ibu dan anak itu tersenyum menyungging.

“Cepat bungkus ia dengan tikar, kita kuburkan di belakang rumah.” Perintah ibunya yang masih takjub dengan jumlah uang dalam koper itu.
Ibunya keluar ruangan dengan tidak melepaskan pandanngannya dari tumpukan uang itu, sementara anaknya melaksanakan perintah ibunya.

“Brak”

Terdengar keras suara pintu di dobrak. Sontak ibu dan anak itu kaget, hingga uang dalam koper yang di pegang isteri pemilik pondok itu berhamburan di lantai.
Bapak pemilik pondok itu kuyup masuk dalam pondok dan berlari menuju kamar pemuda tamu mereka. Di bawah sinar kilat ia melihat pemuda itu telah terbungkus tikar darah menggenangai dipan tempat tidur pemuda itu. Ia terkulai lemas langsung jatuh tak sadarkan diri.

<><><><><>

Deru guntur, derai hujan, sambaran kilat menyatu malam itu. Lelaki tanpa alas kaki berjalan di bawah hujaman hujan. Kuyup seluruh kutang dan sarung pembungkus tubuhnya. Ia berjalan menempu jarak 300 meter dan berbelok ke arah warung yang orang dusun kenal pemilik warung itu dengan panggilan mace. Semua orang dusun tahu kalau warung itu satu-satunya warung yang tetap buka meski larut malam.

Sesamapi di warung mace itu, ia memesan segelas arak. Di sampingnya duduk seoarang tua yang nikmat meminum arak pula.
Setelah menyuguhkan arak, mace tersenyum pada bapak itu.

“Sudah ketumu anaknya pak ?”

“Anak siap ?” Tanya balik bapak itu bingung.

“Anak bapak, Yudi yang sejak kecil itu pergi. Tadi ia singgah di sini, tanyakan rumahnya bapak. Saya sangka siapa, dia juga masih kenal saya. Ternyata katanya Yudi anaknya bapak. Ia mau kasi kejutan katanya dengan menyamar.”

Kaget alang-kepalang bapak itu, detak jantungnya berdetang kecang,tak sempat meneguk arak, bapak pemilik pondok itu berlari menembus hujan kembali kerumahnya, menyimpan heran untuk mace. Waktu terasa panjang, langkah begitu berat, hujan seakan memperberat larinya. Di tiap langkahnya menyimpan harap, moga istri dan anaknya tak melakukan apa-apa, semoga nyali tak membuat takdir yang pilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar